Kamis, 12 Januari 2006

Esensi Syukur

“Aku tidak perlu bersyukur diberi nikmat nafas, diberi nikmat makan. Karena itu semua adalah kewajiban Allah. Aku toh tidak minta diciptakan. Jadi sudah sewajarnya jika Dia memberiku nafas. Aku bersyukur karena diberi kesadaran sehingga aku menyadari bahwa yang menggerakkan nafas ini Allah.”
Begitu kata temanku.

Astaghfirullahal adzim. Tiba-tiba saja aku marah begitu hebat. Aku tidak rela Allah diperlakukan seperti itu. Kalimat terakhir aku setuju, sangat setuju. Tapi kalimat pertama sama sekali tidak setuju. Itu tidak sopan.
Memangnya siapa kita? Apa mentang-mentang kita tidak minta diciptakan, lalu kita boleh tidak berterima kasih?Memangnya siapa kita, berani mewajibkan Allah mengurus kita. Itu hak prerogatif Allah. Sekehendak Dia mau ngapain.

“Eh..bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin menemukan esensi syukur. Itu saja. Aku tidak sedang kurang ajar pada Allah. Aku hanya ingin menempatkan pada intinya”
Tegas temanku. Entahlah, aku ngga ngerti.
Satu hal yang aku tahu, pada saat mendengar hal itu, tiba-tiba saja Allah memberikan rasa marah dalam hatiku.
Pelit. Itu namanya pelit. Apa susahnya sih berterima kasih atas itu semua? Apa susahnya mengakui bahwa itu semua terjadi atas kebaikan Tuhan dan bukan atas kewajiban Tuhan? Apa susahnya memuji Dia?Allah tidak butuh rasa terima kasih kita.

Kita yang butuh berterima kasih pada-Nya. Kita butuh memuji-Nya. Kita butuh menyembah-Nya. Jika semua itu kita lakukan, akan terjadi harmoni dalam kehidupan kita. Ketenangan, kedamaian. Ya, itu yang kualami. Damai..tenang..bahagia.
Aku sangat bahagia, sejak mengenal-Nya. Sejak merasakan kehadiran-Nya. Sejak Dia menumbuhkan rasa cinta pada-Nya. Sejak Dia mulai mengajakku berkomunikasi setiap saat, lewat bahasa Tuhan.

Aku tahu temanku tidak bermaksud demikian, karena aku tahu dia sangat mencintai Tuhan. Dia sudah berspiritual, jauh sebelum aku. Dalam berspiritual dia mengagungkan akal, sehingga adalah keharusan untuk berpikir kritis terhadap Tuhan. Mungkin Tuhan pun tidak akan marah. Itu sah-sah saja.

Tapi entah kenapa aku tidak sependapat dengannya. Kok aku jadi gini? Kok aku jadi sangat mengagungkan Tuhan, sehingga untuk sampai berpikir kritis seperti itu saja, aku tidak sanggup.

Tidak ada komentar: