Terus terang aku juga tidak 24 jam penuh ingat Dia. Tapi selalu berusaha mengarahkan kesadaranku kepada-Nya. Setiap kali kesadaranku didominasi oleh pikiran, maka sebisa mungkin aku arahkan lagi kesadaranku. Pikiranku ini sangat kuat mengusaiku. Dengan latihan patrap, sedikit demi sedikit, step by step aku mulai bisa menguasai pikiranku. Jadi bukan pikiran mengendalikan aku, tapi aku mengendalikan pikiranku.
Dilihat dari ritual ibadah dan keseharianku, sama sekali tidak tampak ikhtiarku. Seolah-olah aku ini termasuk kaum fatalis, kaum qadariyah yang semata-mata mengandalkan takdir Tuhan saja. Tapi tidak demikian. Ikhtiarku ada, yaitu selalu mengarahkan kesadaran agar terus menerus ingat kepada-Nya sambil berdoa minta didzikirkan.
Selanjutnya jika selalu ingat Allah, apalagi bisa 24 jam full dzikir (bukan membaca asma Allah doang), maka yang terjadi selanjutnya Dia menuntunku untuk melakukan ibadah dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai kehendak-Nya. Sehingga aku jadi senang ke masjid, tengah malam dibangunkan Allah lalu dengan senang hati tahajud, lalu dengan senang hati shalat fardlu ditambah shalat sunnah, lalu dengan senang hati shaum, dengan senangh hati baca Qur’an. Semua ibadah ritual dilakukan dengan senang hati, tanpa ada paksaan, tanpa ada rasa berat dan malas. Hingga aku bertanya-tanya dalam hati, setan pada kemana ya? Semua ibadah itu bukan karena usahaku, tapi Allahlah yang menggerakkan. Aku hanya wayang.
Jika ingat Dia terus menerus, maka dituntunNya aku, sehingga dengan senang hati aku bekerja, menjemput rizki-Nya, bermuammalah, bergaul dengan sesama manusia, kuliah mencari ilmu, mengajak ke arah kebaikan, makan minum menguatkan badan, memotivasi orang, berakhlaqul karimah, terus menebar manfaat, berkarya untuk membangun peradaban manusia.
Itu semua Dia yang menggerakkan. Aku hanya bersedia saja untuk dialiri gerak-Nya. Dia Maha Sibuk. Ketika aku menggantungkan diriku pada-Nya maka aku dibuat ikut sibuk sepanjang hari. Ketika aku protes, capek, maka Dia berikan rasa malas padaku. Sehingga aku tidak mau protes lagi.
Jika sadar penuh ke Allah, maka harusnya tidak ada rasa sombong, rasa bisa ibadah karena usaha sendiri. Jika itu masih ada, maka belum bisa dikatakan sudah ke Allah. Jadi kisah seorang abid yang ibadah selama 70 tahun istiqomah, protes ke Allah karena alasan dia dimasukkan ke surga karena rahmat Allah bukan karena ibadahnya, tidak akan terjadi. Karena jika dia menyadari bahwa sebenarnya kita ini hanya diam saja. Kita tidak akan bisa bergerak jika Dia tidak menggerakkan kita. Laa haula walaa quwwata illa billahi. Tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah.
Sekali lagi ikhtiar kita adalah dengan selalu berusaha mengarahkan kesadaran penuh hanya kepada-Nya. Dan ini dilatih dengan shalat khusyu, dengan cara patrap (latihan menghadap). Terus lakukan jangan pernah putus asa. Usaha kita di sini. Meskipun kadang Allah seolah tidak menyambut kita, tapi jangan pernah menyerah. Kita sedang diuji kesungguhan hati kita. Teruslah berusaha hingga Dia berkenan men-dzikir-kan kita, sehingga bisa ingat Dia terus. Berdoalah gar tidak sedetikpun lupa pada-Nya.
Sedetik saja kita lupa, maka “akan Aku kirim setan ke dadamu, yang akan menuntunmu menjauh dari-Ku.” Ancaman-Nya tidak main-main. Maka ketika aku lupa pada-Nya, walau hanya sebentar, maka yang muncul ada rasa malas, enggan, capek, berat, dan seterusnya dalam menjalankan perintah-Nya. Lalu ada rasa mudah marah, sedih, gelisah, mudah kecewa jika tidak sesuai keinginan.
“Sesungguhnya Aku tidak pernah dholim pada hamba-Ku.”. Yang bikin sedih, kecewa, gelisah, marah, itu adalah ulah kita sendiri. Sesungguhnya saat itu kita sedang ‘diusir’ oleh Allah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar