Setelah aku amati perjalanan spiritualku, aku mulai menyadari begini:
Di awal perjalanan spiritual aku merasakan manisnya nikmat iman dan merasakan indahnya hidup dekat dengan Allah. Segalanya begitu indah. Yang ada hanya kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan. Tidak merasa sedih dan takut dalam hal duniawi. Semua lewat. Yang bikin sedih hanya ketika jauh dari Allah dan yang ditakuti hanya Allah.
Apapun yang diinginkan, semua dikabulkan oleh Allah. Minta apa saja Dia berikan. Benar-benar surga itu di sini, sekarang, saat ini. Namun anehnya, justru pada saat seperti itu aku jadi jarang meminta karena sibuk mensyukuri semua pemberianNya. Tapi itu bukan berarti sudah tidak ada keinginan duniawi di hatiku. Masih ada.
Tahap berikutnya adalah tiba-tiba semua keinginanku ditolak! Tidak satupun yang Dia kabulkan. Hingga aku suudzon, protes, desperate. Ya, aku memang manusia biasa. Bayangkan setelah sebelumnya dimanja, semua Dia berikan, kemudian tiba-tiba tidak satupun yang Dia kabulkan. Sangat menyakitkan hati, sangat bikin kecewa. Mungkin itu untuk menguji kesabaran dan kesungguhanku. Apakah aku akan terus berjalan menujuNya atau berhenti.
Selain itu Allah sedang mendidikku untuk menghilangkan keinginan duniawi. Allah memberikan PIL PAHIT untuk kesembuhanku, bukan minuman yang justru memperparah penyakit ku. Semua keinginanku ditolak! Tapi ternyata dengan begitu, aku jadi bisa membedakan mana keinginanku dan mana keinginan Dia. Keinginanku adalah apa yang aku harapkan. Sedang keinginan Allah adalah kenyataan yang terjadi.
Aku terus menerus dibenturkan dengan ketidaksesuaian antara kenyataan dengan apa yang kuharapkan. Aku sering protes dan akhirnya selalu kecewa. Itu sangat tidak mengenakkan hati. Akhirnya aku berusaha menerima semuanya. Lama kelamaan tanpa kusadari aku mulai mengabaikan keinginanku. Aku lebih memprioritaskan keinginanNya. Dan hasilnya adalah aku bisa menerima semua kenyataan yang terjadi. Tapi tentu saja kadang-kadang masih ada protesnya.
Kalau aku sudah tidak protes lagi, sudah bisa menerima apapun yang terjadi, maka pada saat itu sebenarnya aku sedang dalam proses menghilangkan keinginan. Sehingga yang ada adalah keinginan Allah. Orang bilang itu namanya PASRAH. Tapi bagi beberapa orang itu diartikan negatif. Jadi mungkin kata yang tepat adalah BERSERAH DIRI.
Kalau sudah bisa mengabaikan keinginan diri, maka yang dominan adalah keinginan Allah. DIA taruh kehendaknya di dalam hati. Sampai pada akhirnya keinginan Allah adalah keinginan kita juga. Dan tidak ada lagi pertentangan batin. Semuanya mengalir seperti air. Namun proses menuju hal itu ternyata sangat berat dan sangat sulit. Ntahlah apa aku bisa melaluinya. Aku hanya bisa berdoa pada Allah agar aku dituntun bisa melewati semua ini.
Mungkin para spiritualis pernah mengalami seperti aku. Tiba-tiba semua kesenangan dunia Dia ambil. Sampai-sampai aku tidak punya apapun. Seringkali aku mengalami tak punya uang sepeserpun! Bahkan kadang-kadang aku tidak makan karena tidak punya uang untuk beli. Bahkan aku harus bolos kuliah karena tidak punya ongkos untuk naik angkot. Ketika kutanyakan pada teman-temanku yang juga berspiritual, ternyata mereka mengalami hal yang sama. Tapi ada beberapa orang yang tidak mengalami hal ini.
Kisah-kisah para sufi yang hidup dalam kekurangan, bisa kurasakan. Sangat sengsara, hidup penuh keprihatinan. Sementara itu di dalam diri makin kuat perasaan sangat malu untuk meminta. Pantang meminta, tidak mau jadi beban siapapun. Jadilah kesengsaraan ditanggung sendiri tanpa ada orang lain yang tahu.
Ternyata dibalik semua kesengsaraan itu, ada nikmat yang sangat luar biasa. Sulit kukatakan, hanya bisa kurasakan. Dalam kesengsaraan itu, aku merasa makin dekat ke Allah. Dan pelan-pelan mulai terkikis keinginan duniawi. Dulu kebahagiaan itu datang jika punya uang banyak. Kini ternyata kebahagiaan itu tetap Dia berikan meskipun tidak punya uang.
Dan tahu ngga, justru ketika aku sudah tidak punya keinginan akan duniawi, anehnya sekarang justru semuanya datang begitu saja. Pas butuh ada! Semula kupikir itu cobaan, ngetes aku apakah aku tergelincir dengan semua kenikmatan duniawi ini. Ternyata selain cobaan, itu juga cara Allah menunjukkan bahwa Dia mencukupi semua kebutuhanku. Kalau di awal dia mengajari zuhud dengan dibikin jadi fakir miskin, tapi setelah itu Dia ajari zuhud dalam keberlimpahan.
Ya, mungkin ini cara Allah mengajariku zuhud, agar tidak menggantungkan kebahagiaan terhadap harta. Allah ingin mengajariku bahwa kaya miskin itu sama saja. Allah tidak memuliakan orang dengan kekayaan dan tidak menghinakan orang dengan kemiskinan.
QS Al Fajr 15-16:
Maka adapun manusia jika Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata: Tuhanku memuliakanku.
Namun apabila Tuhan mengujinya alu membatasi rizkinya, maka dia berkata: Tuhanku telah menghinakanku.
Selasa, 21 November 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Betul mbak...yang penting kita selalu khusnudzon kepada Allah...karena yang diberikan Allah kepada kita adalah memang yang terbaik untuk kita...bukan begitu mbak??
Posting Komentar