“inna sholati wa nusuki wa makhiyaya wa mamaati lillahi robbil ‘alamin” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah rabb semesta alam.
Aku baru paham tentang kalimat di atas.
Suatu ketika pernah ada teman menegurku. Kamu harus begini harus begitu. Jangan begini jangan begitu. Kamu harus menjaga dirimu dengan dalil-dalil agar tidak dianggap sesat.
Dan apa yang dia katakan memang benar. Aku menyampaikan apa yang kualami selama berspiritual, mengikuti dorongan hati, ternyata ada orang yang menganggapku sesat. Meski hanya segelintir orang , terutama yang imannya hanya tergantung dalil. Selama ada dalil, maka akan percaya. Tapi jika tidak ada dalil, maka dianggap sesat dan bid’ah.
It’s ok, orang seperti ini bagus, penuh kehati-hatian, sehingga Insya Allah tidak akan sesat. Tapi bukan berarti dia berhak menilai aku sesat, hanya karena aku dan dia tidak tahu dalilnya. Aku mengalami perjalanan spiritual dulu, sedangkan dalilnya menyusul kemudian.
Anyway, kembali ke apa yang dikatakan temanku. Kok aku ngga merasa begitu ya? Kok aku ngga merasa harus begini harus begitu. Yang kurasakan aku sudah tidak punya kendali atas diriku. Aku tak bisa menyuruh diriku harus begini atau harus begitu. Aku hanya pengamat atas diriku. Aku hanya sebuah kesadaran. Seolah ada yang mengendalikanku. Itu terjadi karena aku selalu ikut dorongan hati nurani. Tidak berpikir panjang. Jika aku olah dulu di pikiranku, maka pasti banyak pertimbangan.
Aku mulai menyadari bahwa ada 2 penguasa atas tubuh kita. Yang pertama adalah diri kita sendiri. Yang kedua adalah Allah, tuhan semesta alam, yang menciptakan kita. DIA lah penguasa sesungguhnya. Sedangkan kita hanya penguasa sementara yang diberi mandat oleh Allah. Sebagian besar manusia berkuasa atas tubuhnya, hatinya, pikirannya. Bahkan berkuasa atas hidupnya. Dia bisa mengendalikan hidupnya sesuai dengan keinginannya, dan Allah menyetujui. Tapi kadang apa yang dia inginkan tidak menjadi kenyataan. Itu adalah saat dimana Dia menunjukkan bahwa Dialah penguasa sesungguhnya.
Contohnya begini, kita bisa menggerakkan tangan kita semau kita. Kita tuhan atas tangan kita. Tapi adakalanya Allah mengingatkan bahwa DIA lah penguasa sesungguhnya akan tangan kita dengan cara misalkan tangan kita dibikin lumpuh, tidak bisa kita gerakkan.
Nah, sekarang yang kualami adalah ketika aku sedang menapaki jalanNya, aku merasa sama sekali tidak berhak atas diriku. Allah berkuasa penuh atas diriku. Itu terjadi ketika aku mulai menyerahkan tubuhku, pikiranku, hatiku padaNya. Allah mendominasi diriku jika aku mengecil, mengurangi peranku, menyerahkan kembali kekuasaanku atas tubuh ini kepadaNya. Tapi jika aku mendominasi diriku, maka itu tidak terjadi. Karena telah kuserahkan semua padaNya.
Ya, itulah pemahaman yang kuperoleh dari doa:
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah.
Sabtu, 25 November 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar