Aku sms ke iparku:
“Kok aku disuruh ke Depok ya? Sabtu ada di rumah?”
Iparku ngga langsung balas. Aku bingung jangan-jangan dia kira aku disuruh kakakku. Padahal ngga. Aku hanya mengikuti dorongan hati. Seperti ada yang menyuruh ke Depok. Seminggu yang lalu sudah ada dorongan seperti ini, tapi tidak kulakukan karena dorongan itu tidak begitu kuat. Sampai akhirnya dia telpon barusan:
“Kamu disuruh siapa? Dan disuruh ngapain?”
Aku bilang dengan naifnya, aku disuruh Allah hehe.. Ini nih jeleknya aku. Kata-kata kayak gini nih yang bikin orang menuduhku sesat dan menuduhku mengaku-ngaku wali. Astaghfirullahal adzim.
Aku ralat, aku bilang ada dorongan di hati yang sangat kuat untuk ke Depok. Aku ngga tahu ada masalah apa dan harus ngapain di sana.
“Kenapa harus ke Depok?”
“Ya, karena sepertinya kamu butuh aku hehe..”
“Ha????”
Ternyata benar! Dia sedang sangat butuh aku saat itu, hanya saja dia ngga berani bilang ke aku karena takut mengganggu. Kok bisa kebetulan begini ya? Apakah ini yang dikatakan orang telepati itu?
Rabu, 29 November 2006
Sabtu, 25 November 2006
Siapa Penguasa Sesungguhnya?
“inna sholati wa nusuki wa makhiyaya wa mamaati lillahi robbil ‘alamin” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah rabb semesta alam.
Aku baru paham tentang kalimat di atas.
Suatu ketika pernah ada teman menegurku. Kamu harus begini harus begitu. Jangan begini jangan begitu. Kamu harus menjaga dirimu dengan dalil-dalil agar tidak dianggap sesat.
Dan apa yang dia katakan memang benar. Aku menyampaikan apa yang kualami selama berspiritual, mengikuti dorongan hati, ternyata ada orang yang menganggapku sesat. Meski hanya segelintir orang , terutama yang imannya hanya tergantung dalil. Selama ada dalil, maka akan percaya. Tapi jika tidak ada dalil, maka dianggap sesat dan bid’ah.
It’s ok, orang seperti ini bagus, penuh kehati-hatian, sehingga Insya Allah tidak akan sesat. Tapi bukan berarti dia berhak menilai aku sesat, hanya karena aku dan dia tidak tahu dalilnya. Aku mengalami perjalanan spiritual dulu, sedangkan dalilnya menyusul kemudian.
Anyway, kembali ke apa yang dikatakan temanku. Kok aku ngga merasa begitu ya? Kok aku ngga merasa harus begini harus begitu. Yang kurasakan aku sudah tidak punya kendali atas diriku. Aku tak bisa menyuruh diriku harus begini atau harus begitu. Aku hanya pengamat atas diriku. Aku hanya sebuah kesadaran. Seolah ada yang mengendalikanku. Itu terjadi karena aku selalu ikut dorongan hati nurani. Tidak berpikir panjang. Jika aku olah dulu di pikiranku, maka pasti banyak pertimbangan.
Aku mulai menyadari bahwa ada 2 penguasa atas tubuh kita. Yang pertama adalah diri kita sendiri. Yang kedua adalah Allah, tuhan semesta alam, yang menciptakan kita. DIA lah penguasa sesungguhnya. Sedangkan kita hanya penguasa sementara yang diberi mandat oleh Allah. Sebagian besar manusia berkuasa atas tubuhnya, hatinya, pikirannya. Bahkan berkuasa atas hidupnya. Dia bisa mengendalikan hidupnya sesuai dengan keinginannya, dan Allah menyetujui. Tapi kadang apa yang dia inginkan tidak menjadi kenyataan. Itu adalah saat dimana Dia menunjukkan bahwa Dialah penguasa sesungguhnya.
Contohnya begini, kita bisa menggerakkan tangan kita semau kita. Kita tuhan atas tangan kita. Tapi adakalanya Allah mengingatkan bahwa DIA lah penguasa sesungguhnya akan tangan kita dengan cara misalkan tangan kita dibikin lumpuh, tidak bisa kita gerakkan.
Nah, sekarang yang kualami adalah ketika aku sedang menapaki jalanNya, aku merasa sama sekali tidak berhak atas diriku. Allah berkuasa penuh atas diriku. Itu terjadi ketika aku mulai menyerahkan tubuhku, pikiranku, hatiku padaNya. Allah mendominasi diriku jika aku mengecil, mengurangi peranku, menyerahkan kembali kekuasaanku atas tubuh ini kepadaNya. Tapi jika aku mendominasi diriku, maka itu tidak terjadi. Karena telah kuserahkan semua padaNya.
Ya, itulah pemahaman yang kuperoleh dari doa:
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah.
Aku baru paham tentang kalimat di atas.
Suatu ketika pernah ada teman menegurku. Kamu harus begini harus begitu. Jangan begini jangan begitu. Kamu harus menjaga dirimu dengan dalil-dalil agar tidak dianggap sesat.
Dan apa yang dia katakan memang benar. Aku menyampaikan apa yang kualami selama berspiritual, mengikuti dorongan hati, ternyata ada orang yang menganggapku sesat. Meski hanya segelintir orang , terutama yang imannya hanya tergantung dalil. Selama ada dalil, maka akan percaya. Tapi jika tidak ada dalil, maka dianggap sesat dan bid’ah.
It’s ok, orang seperti ini bagus, penuh kehati-hatian, sehingga Insya Allah tidak akan sesat. Tapi bukan berarti dia berhak menilai aku sesat, hanya karena aku dan dia tidak tahu dalilnya. Aku mengalami perjalanan spiritual dulu, sedangkan dalilnya menyusul kemudian.
Anyway, kembali ke apa yang dikatakan temanku. Kok aku ngga merasa begitu ya? Kok aku ngga merasa harus begini harus begitu. Yang kurasakan aku sudah tidak punya kendali atas diriku. Aku tak bisa menyuruh diriku harus begini atau harus begitu. Aku hanya pengamat atas diriku. Aku hanya sebuah kesadaran. Seolah ada yang mengendalikanku. Itu terjadi karena aku selalu ikut dorongan hati nurani. Tidak berpikir panjang. Jika aku olah dulu di pikiranku, maka pasti banyak pertimbangan.
Aku mulai menyadari bahwa ada 2 penguasa atas tubuh kita. Yang pertama adalah diri kita sendiri. Yang kedua adalah Allah, tuhan semesta alam, yang menciptakan kita. DIA lah penguasa sesungguhnya. Sedangkan kita hanya penguasa sementara yang diberi mandat oleh Allah. Sebagian besar manusia berkuasa atas tubuhnya, hatinya, pikirannya. Bahkan berkuasa atas hidupnya. Dia bisa mengendalikan hidupnya sesuai dengan keinginannya, dan Allah menyetujui. Tapi kadang apa yang dia inginkan tidak menjadi kenyataan. Itu adalah saat dimana Dia menunjukkan bahwa Dialah penguasa sesungguhnya.
Contohnya begini, kita bisa menggerakkan tangan kita semau kita. Kita tuhan atas tangan kita. Tapi adakalanya Allah mengingatkan bahwa DIA lah penguasa sesungguhnya akan tangan kita dengan cara misalkan tangan kita dibikin lumpuh, tidak bisa kita gerakkan.
Nah, sekarang yang kualami adalah ketika aku sedang menapaki jalanNya, aku merasa sama sekali tidak berhak atas diriku. Allah berkuasa penuh atas diriku. Itu terjadi ketika aku mulai menyerahkan tubuhku, pikiranku, hatiku padaNya. Allah mendominasi diriku jika aku mengecil, mengurangi peranku, menyerahkan kembali kekuasaanku atas tubuh ini kepadaNya. Tapi jika aku mendominasi diriku, maka itu tidak terjadi. Karena telah kuserahkan semua padaNya.
Ya, itulah pemahaman yang kuperoleh dari doa:
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah.
Jumat, 24 November 2006
Hilangkan Keinginan, Jadilah KehendakNya
Perjalanan spiritual kita akan sangat cepat jika kita tahu kuncinya : HILANGKAN KEINGINAN. Ada 2 cara untuk menghilangkan keinginan. Pertama dengan obat atau pil pahit, cara Allah melatih kita menghilangkan keinginan kita. Dipaksa dengan keadaan, dihadapkan dengan kenyataan yang pahit, yang tidak sesuai dengan keinginan kita (seperti yang sudah kutulis sebelumnya).
Yang kedua dengan pil yang tidak terasa pahit. Kita tidak dipaksa keadaan, tapi kita dengan sukarela melatih menghilangkan keinginan. Ini semua atas kemauan sendiri. Misalkan setiap kali muncul keinginan duniawi, maka tidak dituruti. Begitu terus.
Mungkin banyak yang tidak setuju, masa orang disuruh ngga punya keinginan. Akhirnya dia nanti tidak berbuat apa-apa dong. Jika dia seorang spiritualis, maka ketika dia menghilangkan keinginan, maka yang terjadi adalah bukan tidak berbuat apa-apa. Tapi dia melatih kepekaan dalam diri, mengenali keinginan Allah. Hingga akhirnya dia bisa MENYELARASKAN keinginan diri dengan keinginan Allah.
Nah, disinilah kita bisa ikuti dorongan hati. Karena di situlah Allah memberitahu kita apa yang Dia perintahkan, apa yang Dia inginkan. Di sinilah kita akan menjadi rahmatan lilalamin. Kita berbuat baik bukan karena ingin mendapat balasan dari orang itu. Tapi memang ada dorongan di hati ingin melakukan itu. Kita beribadah bukan semata-mata karena ingin dilihat orang, tapi karena ada dorongan di hati ingin melakukan itu. Kita 'menjadi kehendakNya.'
Yang kedua dengan pil yang tidak terasa pahit. Kita tidak dipaksa keadaan, tapi kita dengan sukarela melatih menghilangkan keinginan. Ini semua atas kemauan sendiri. Misalkan setiap kali muncul keinginan duniawi, maka tidak dituruti. Begitu terus.
Mungkin banyak yang tidak setuju, masa orang disuruh ngga punya keinginan. Akhirnya dia nanti tidak berbuat apa-apa dong. Jika dia seorang spiritualis, maka ketika dia menghilangkan keinginan, maka yang terjadi adalah bukan tidak berbuat apa-apa. Tapi dia melatih kepekaan dalam diri, mengenali keinginan Allah. Hingga akhirnya dia bisa MENYELARASKAN keinginan diri dengan keinginan Allah.
Nah, disinilah kita bisa ikuti dorongan hati. Karena di situlah Allah memberitahu kita apa yang Dia perintahkan, apa yang Dia inginkan. Di sinilah kita akan menjadi rahmatan lilalamin. Kita berbuat baik bukan karena ingin mendapat balasan dari orang itu. Tapi memang ada dorongan di hati ingin melakukan itu. Kita beribadah bukan semata-mata karena ingin dilihat orang, tapi karena ada dorongan di hati ingin melakukan itu. Kita 'menjadi kehendakNya.'
Langganan:
Postingan (Atom)