Minggu, 02 Oktober 2005

Momentum Yang Menentukan

Di awal Ramadhan ini aku ikut acara ‘Sambung Rasa’, yaitu salah satu bentuk olah spiritual. Latihan 'nyambung' dengan Allah, merasakan 'interaksi' dengan Allah, dengan menggunakan ruhani kita.

Latihan sambung rasa pukul 21.00. Hari sudah larut, paling enak buat istirahat, tidur. Pesertanya sekitar 10 orang, mayoritas bapak-bapak. Sebagian besar peserta kecapean, pulang kantor langsung ikut acara ini. Latihannya dimulai dengan duduk rileks, lalu memanggil Allah dalam hati. Tidak ngotot sama sekali. Hening....Aku masih belum bisa nyambung.

Tiba-tiba terdengar dengkuran dari trainer, dilanjutkan di sebelahnya dan sebelahnya. Wah, kok pada tidur gini? Bagaimana sih? Aku bingung, tapi aku tidak perduli. Aku kembalikan ke niatku semula. Aku kesini mau cari Allah. Aku putuskan untuk memakai caraku sendiri. Ngawur, karena aku memang belum bisa. Aku hanya memanggil Allah, lalu berdialog dengan-Nya sama seperti ketika aku ditimpa musibah. Itu saja yang kulakukan.
Tiba-tiba terasa sambutan-Nya! Air mataku mengalir deras tanpa bisa kubendung. Tangisanku makin keras dan mengganggu orang-orang di sekitarku, sehingga bangun.

Belakangan aku baru tahu, bahwa memang kadang-kadang ketika sedang olah spiritual, ketika “Sang Aku” menuju ke Allah, mereka sudah tidak merasakan lagi sensasi tubuh. Berada di titik alfa, tenang seperti orang meditasi. Mendengkur itu sebenarnya tidak tidur, mereka sadar penuh. Seperti juga orang tidur, ruhnya sedang ke Allah.“Aku yang memegang jiwa orang yang tidur dan orang ketika mati’.

Paginya ba’da Subuh berdiskusi dengan pemateri. Aku bertanya apa sih yang disebut 'nyambung' atau 'khusyu’ itu ? Beliau balik bertanya : “Lho, kamu semalam itu nangis itu apa? Meski tidak selalu harus nangis. Tapi itu salah satu tandanya.”
Ooh... Berarti 'khusyu' itu adalah ketika kita bisa merasakan respon-Nya, bisa merasakan berdialog dengan-Nya, bukan monolog. Lalu beliau memberi saran :“Lakukan terus olah ruhani seperti tadi, setiap hari, minimal 30 menit. Mau disambut atau tidak, terus saja lakukan. Jangan pernah menyerah.”

Pagi jam 10.00 kami latihan lagi. Sebelumnya pemateri memberi prolog. Beliau mengatakan tentang ‘ikut mau-Nya Allah’. Kalau kita ikut mau-Nya Allah, berarti kita harus ikut tanpa reserve. Mau dibikin senang atau sedih, ikut aja. Mau dibikin kaya atau miskin, sehat atau sakit, ikuti saja. Jangan pernah protes.

Lalu kami latihan lagi. Tapi kali ini aku ngga bisa nyambung. Tapi ngga papa, mungkin aku harus lebih sungguh-sungguh lagi. Akhirnya aku isi waktu luangku di masjid. Shalat, baca Qur’an, dan baca buku yang dipinjami temanku. Judulnya “Bersatu dengan Allah” karya Agus Mustofa. Melihat judulnya saja sudah ngeri. Tapi ketika lembar demi lembar kubaca, aku mulai paham. Hebat. Beliau bisa mengilmiahkan hal-hal yang sepertinya tidak masuk akal. Di buku itu dijelaskan tentang “Allah meliputi segala sesuatu.” Aku jadi makin paham dimana Allah sebenarnya. Aku jadi paham maksud Allah “Aku ini sangat dekat, lebih dekat dari urat lehermu.” Dan juga maksud Allah : “Dimanapun engkau menghadap, di situlah wajah Allah”.

Malam jam 21.00 kami masuk kelas. Pemateri mulai menjelaskan tentang tahapan-tahapan olah spiritual ketika ruhani menghadap ke Allah. Kemudian kami istirahat. Pukul 24.00 kami disuruh berkumpul di lapangan. “Sekarang lihat alam semesta. Lihatlah alam semesta yang luas. Amati kebesaran-Nya. Amati diri masing-masing. Sadari bahwa aku terbuat dari sari pati tanah. Saripati tanah ini sama dengan sari pati tanah yang ada di tubuh orang-orang di sekitarmu. Sama dengan sari pati tanah yang ada di tanah di bawahmu. Aku sama dengan tanah. Aku tidak berbeda dengan tanah. Aku menyatu dengan tanah.

Aku terdiri dari air. Air ini sama dengan air yang ada di tubuh orang-orang di sekitarmu. Air ini sama dengan air yang ada di tumbuh-tumbuhan, sama dengan air yang ada di lautan, sama dengan seluruh air yang ada di alam. Aku menyatu dengan alam. Aku adalah alam. Sekarang yang ada hanya alam dan Allah. Panggil Dia.. Allah..Allah..!”

Semula aku masih belum mengerti.Menyatu dengan alam itu bagaimana. Karena aku masih memakai pikiranku. Tapi lama kelamaan aku tidak perdulikan lagi. Aku ngga perduli ngerti apa ngga, yang penting aku ke Allah. Tiba-tiba.. Derrr!!!!!
Terasa sekali sambutan-Nya. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba saja mulutku berkata :“Ya Allah, aku ikut mau-Mu.”Berulang kali kata-kata itu saja yang keluar dari mulutku.

Sementara teman di sebelahku berkata “ Aku memuji-Mu”Ada yang “Allahu Akbar”. Bermacam-macam reaksi tiap orang, tergantung apa yang diajarkan oleh Allah saat itu.Semenjak peristiwa malam itu, aku seolah berjanji pada-Nya bahwa aku akan ikut mau-Nya. Aku ikut kehendak-Nya. Dia tahu apa yang terbaik bagiku. Sejak saat itu hidupku benar-benar berubah. Aku mulai menapaki jalan menuju Tuhan.

Tidak ada komentar: